Opini
Surga Bawah Laut Raja Ampat yang Terancam.
Sumber foto : Indonesia Juara |
Oleh : Okto Wogebou Bunai
OPINI, YAMENADITV - Mentari pagi perlahan menyapu lembut perairan Raja Ampat. Lautan biru jernih membentang sejauh mata memandang, memantulkan langit yang masih suci dari kabut mesin-mesin pengeruk. Di atas sebuah perahu kecil, Yohana duduk bersama kakeknya, seorang tetua adat kampung Meos.
Tanah ini bukan milik kita, Nak. Tapi kita yang milik tanah ini," kata sang kakek, memandang gugusan pulau-pulau yang dihuni karang dan ikan warna-warni.
Yohana mengangguk pelan. Ia tumbuh besar dengan cerita tentang roh leluhur yang menjaga hutan dan laut. Di balik setiap tebing karang, ada kisah. Di balik setiap desir ombak, ada doa.
Namun hari-hari ini, cerita itu terancam hilang
Kabar masuknya tambang nikel menyebar cepat seperti api di musim kemarau. Perusahaan-perusahaan datang membawa janji: pembangunan, lapangan kerja, kemajuan. Tapi Yohana tahu, di balik janji itu, tanah mereka akan digali, laut akan keruh, dan anak-anak akan tumbuh tanpa kenangan akan surga kecil yang dulu hidup.
Pak, Mereka bilang ini untuk masa depan," kata Yohana dalam satu pertemuan adat, suaranya bergetar.
Kalau masa depan artinya kehilangan semuanya, itu bukan masa depan kita," jawab seorang ibu, menggenggam tangan Yohana.
Suatu malam, Yohana duduk di depan api unggu bersama para pemuda kampung. Mereka mendengarkan rekaman suara dari para aktivis Papua yang dulu disebut pemberontak".
Kami bukan melawan Indonesia. Kami melawan ketidakadilan diatas tanah ini," suara dari rekaman itu terdengar lirik namun tajam. "Kami mempertahankan tanah adat, bukan karena kami benci, tapi karena kami cintai."
Yohana menangis. Bukan karena takut. Tapi karena hatinya hancur. Mereka yang dulu dijuluki separatis, ternyata hanya ingin hidup. Hanya ingin laut yang biru. Hutan yang hijau. Anak-anak yang tertawa.
Pagi itu, seluruh kampung berkumpul di bibir pantai. Dengan kain adat dan lukisan wajah, mereka berjalan menuju area yang hendak dibuka tambang.
Yohana berdiri paling depan. Suaranya menggema ke seluruh teluk:
Pergi dari sini! Kami tidak butuh tambang. Kami butuh alam yang hidup!"
Seseorang dari perusahaan mencoba membujuk. Katanya, ini untuk pembangunan. Untuk kemajuan bangsa.
Yohana menunjuk ke laut. "Lihatlah. Ini bukan tanah kosong. Ini adalah rumah. Ini adalah nadi hidup Papua. Dan Papua adalah bagian dari Indonesia. Jika surga ini hancur, bukan hanya kami yang kehilangan. Indonesia pun akan kehilangan jantung alamnya."
Angin laut berhembus pelan. Seakan menyetujui. Ombak menyentuh kaki mereka yang berdiri melawan.
Hari itu, suara Papua bukan hanya suara Yohana. Tapi suara laut. Suara hutan. Suara rakyat Indonesia yang tak ingin surga dihancurkan demi emas semu bernama tambang.
Karena tanah ini bukan untuk dijual. Tanah ini untuk dijaga. Sampai anak cucu bisa menyebut: inilah tanah kami. Tanah yang hidup. selengkapnya simak film singkat. https://youtu.be/p2Di02xDxC0?si=sit9oQnC6MvZol_0
Tulisan ini sepenuhnya bertanggung jawab oleh penulis!!!
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar