Papua Tak Butuh Gibran, Butuh Referendum!
![]() |
Oleh : Victor Yeimo
Ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengumumkan akan mulai berkantor di Papua, niat itu mungkin dimaknai sebagai bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap apa yang disebut "ketertinggalan Papua." Tetapi bagi rakyat Papua, langkah itu bukan simbol kepedulian, melainkan manifestasi dari kekuasaan kolonial yang terus memaksakan kehadirannya di atas tanah yang belum pernah memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Apakah berkantor di tanah jajahan dapat menggantikan keadilan? Apakah kehadiran simbol negara di wilayah konflik politik dapat menghapuskan akar kolonialisme? Sebelum pemerintah membangun kantor, harusnya ia membangun kejujuran sejarah. Sebelum negara menanam bendera di daerah pemekaran baru, seharusnya ia menanyakan: apakah rakyat Papua memang ingin bendera itu di sana?
Rencana Wapres untuk berkantor di Papua harus dibaca dalam satu bingkai besar: negara berupaya menutup konflik politik dengan pendekatan administratif dan pembangunan infrastruktur, padahal yang dituntut rakyat Papua bukanlah proyek jalan raya atau istana wakil presiden -melainkan pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri yang selama ini disangkal.
Wapres boleh hadir secara fisik, tetapi ia tidak bisa mewakili kebenaran sejarah. Karena tak ada kekuasaan, jabatan, atau pangkat negara yang dapat menggantikan hak rakyat untuk memilih jalannya sendiri. Maka, daripada menambah gedung kekuasaan, lebih baik negara membangun proses keadilan yang dimulai dengan satu keputusan berani: menyelenggarakan referendum bagi rakyat Papua Barat.
Referendum: Solusi Sah, Legal, dan Damai untuk Papua
Referendum bukan agenda separatis, tetapi mekanisme legal dalam kerangka hukum internasional untuk penyelesaian konflik politik mengenai status teritorial. Referendum telah dijalankan di berbagai negara untuk menyelesaikan konflik dekolonisasi: Sudan Selatan (2011)[1], Timor Leste (1999)[2], dan Sahara Barat (masih berproses)[3].
Dalam konteks West Papua, dasar legal dan politik untuk referendum sangat kuat karena Pepera 1969 -yang dijadikan dasar integrasi- telah cacat secara prosedural dan substantif. Para ahli hukum, termasuk Pieter Drooglever[4], John Saltford[5], dan akademisi seperti Melinda Janki[6], telah menyimpulkan bahwa Pepera tidak memenuhi kriteria penentuan nasib sendiri berdasarkan hukum internasional.
Prinsip Self-determination atau penentuan nasib sendiri adalah prinsip jus cogens atau hukum internasional yang tidak dapat diabaikan. Prinsip ini dinyatakan dalam Pasal 1(2) Piagam PBB[7] dan ditegaskan kembali dalam dua Kovenan Internasional: ICCPR dan ICESCR, yang keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005[8].
Mengapa Referendum Papua Bukan Hanya Sah, tetapi Wajib
1. Papua adalah wilayah belum didekolonisasi. Berdasarkan fakta sejarah dan posisi hukum internasional, wilayah West Papua pada tahun 1963 dipindahkan ke Indonesia oleh UNTEA tanpa referendum yang sah[9]. New York Agreement (1962) hanya bersifat administratif dan tidak pernah memberi kedaulatan kepada Indonesia[10].
2. Resolusi 2504 (XXIV) tidak mengesahkan Pepera 1969. Resolusi ini hanya mencatat laporan Sekjen PBB tanpa menyatakan pengesahan terhadap hasil Pepera. Tidak ada keputusan legal PBB yang mengakui Papua telah menentukan nasib sendiri[11].
3. Pelaksanaan Pepera melanggar asas universal suffrage. Dari sekitar 800.000 penduduk, hanya 1.025 orang dipilih oleh negara, dikarantina, dan dipaksa menyatakan dukungan bagi Indonesia. Ini bertentangan dengan prinsip one person one vote dan genuine act of self-determination[12].
4. Hukum Indonesia sendiri telah dilanggar. Dalam UUD 1945, pasal 28E, 28G, dan 28I menjamin hak asasi termasuk kebebasan menentukan pikiran dan keyakinan politik. Proses integrasi serta penindasan sesudahnya bertentangan dengan prinsip konstitusional Indonesia sendiri[13].
Subjek Hukum Referendum: Mengapa Hanya Orang Asli Papua yang Berhak Memilih
Hukum internasional dalam proses dekolonisasi menegaskan bahwa subjek hukum referendum hanyalah indigenous peoples atau penduduk asli yang menjadi korban penjajahan. Resolusi 1541 (XV), prinsip IX, menyatakan bahwa hanya rakyat dari wilayah jajahan yang sah memilih status politik mereka[14].
Memberi hak pilih kepada pendatang dalam konteks kolonial adalah bentuk rekayasa politik yang menghapus kehendak rakyat asli. Hal ini ditegaskan dalam pengalaman referenda di New Caledonia (2018, 2020)[15], Sahara Barat (1975)[16], dan Bougainville (2019)[17].
Dalam konteks Papua, program transmigrasi dan pendudukan militer sejak 1970-an telah menyebabkan pergeseran demografi yang masif[18]. Jika semua penduduk administratif diberi hak pilih, maka hasil referendum akan menjadi reproduksi ketidakadilan kolonial, bukan penyelesaian yang sah.
Kewajiban Negara: Hentikan Pendudukan dan Siapkan Referendum
Jika negara Republik Indonesia ingin mewujudkan keadilan dan perdamaian sejati, maka ia harus menghentikan praktik kolonialisme di West Papua. Termasuk: 1) Hentikan militerisasi: Penempatan TNI dan Polri di wilayah sipil bertentangan dengan prinsip perlindungan hak sipil. 2) Hentikan pemekaran provinsi: Ini bukan otonomi, tapi taktik pecah belah dan kontrol administratif. 3) Hentikan ekspansi investasi ekstraktif: Perampasan tanah adat dan eksploitasi SDA melanggar hukum internasional terkait hak-hak masyarakat adat (UNDRIP)[19].
Hentikan kriminalisasi gerakan damai: Seruan referendum bukan kejahatan, tetapi ekspresi hak politik yang dijamin oleh hukum nasional dan internasional.
Sebaliknya, Negara Harus:
1) Memulai dialog politik setara dengan perwakilan rakyat Papua dan komunitas internasional. 2) Mengakui bahwa integrasi Papua belum sah dan perlu dikoreksi melalui referendum. 3) Menyiapkan referendum yang kredibel, diawasi PBB, dan hanya melibatkan Orang Asli Papua.
Penutup: Seruan kepada Presiden Republik Indonesia
Kepada Presiden Republik Indonesia,
Sejarah tidak dapat dikubur oleh pembangunan. Hukum tidak bisa dibungkam oleh senjata. Keadilan tidak mungkin lahir dari ketakutan. Jika Anda benar-benar pemimpin bagi semua rakyat Indonesia, maka Anda juga adalah pemimpin yang bertanggung jawab menjawab jeritan sejarah rakyat Papua.
Bukan dengan pemekaran. Bukan dengan lebih banyak militer. Bukan dengan perampasan tanah untuk investasi. Tetapi dengan keberanian politik untuk mengatakan yang benar: bahwa bangsa Papua belum pernah menentukan nasibnya sendiri. Dan itu hanya dapat diperbaiki melalui referendum.
Kami tidak meminta belas kasih. Kami hanya meminta keadilan. Sebagaimana yang dijanjikan oleh hukum internasional. Sebagaimana yang dijanjikan oleh Piagam PBB. Sebagaimana yang Anda sendiri janjikan dalam konstitusi Republik.
Beranikah Anda memimpin sejarah ke arah yang benar? Jika iya, maka buka pintu referendum. Jika tidak, maka biarkan sejarah yang akan menghakimi Anda.
Victor Yeimo
Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Referensi (footnote):
[1] United Nations Mission in South Sudan (UNMISS), 2011. [2] UNAMET Report on the Popular Consultation in East Timor, 1999. [3] ICJ Advisory Opinion, Western Sahara, 1975. [4] Drooglever, Pieter. An Act of Free Choice, Oneworld Publications, 2009. [5] Saltford, John. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, RoutledgeCurzon, 2003. [6] Janki, Melinda. The Right to Self-Determination in International Law, 2010. [7] Charter of the United Nations, Article 1(2). [8] Ratifikasi Indonesia terhadap ICCPR & ICESCR, UU No. 12 Tahun 2005. [9] United Nations Trusteeship Council Archives, 1962–1963. [10] New York Agreement, 15 Agustus 1962. [11] UNGA Resolution 2504 (XXIV), 1969. [12] UN Principles and Guidelines on the Right to Self-Determination, 2006. [13] Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28E, 28G, dan 28I. [14] UNGA Resolution 1541 (XV), Principle IX. [15] French Government Reports on New Caledonia Referendum, 2018–2021. [16] ICJ Advisory Opinion on Western Sahara, 1975. [17] Bougainville Referendum Commission Report, 2019. [18] Badan Pusat Statistik Papua dan LIPI, 2003–2020. [19] United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), 2007.
**Artikel ini sepenuhnya bertanggung jawab oleh penulis+**
Belum ada Komentar
Posting Komentar