Pemekaran Tanah Papua: Jaring Kepentingan atau Jalan Kesejahteraan?
Di tengah siang yang menyengat, seorang lelaki Papua berdiri tegak mengenakan pakaian adat lengkap. Pandangannya kosong, tapi dalam diamnya tersimpan teriakan luka. Di hadapannya, tanah yang membesarkannya kini menjadi padang gersang penuh debu dan serpihan kayu. Alat-alat berat mengamuk, merobek hutan yang dulu menjadi rumah bagi suara burung cendrawasih, jejak kaki kanguru pohon, dan bisikan roh leluhur. Kini, yang tersisa hanyalah bising mesin dan ketakutan hewan-hewan yang tak tahu lagi ke mana harus pulang.
Inilah wajah pilu dari pemekaran yang katanya demi pembangunan Negara Indonesia telah menghadirkan berbagai pemekaran di tanah Papua: provinsi, kabupaten, distrik, hingga desa. Di atas kertas, semua ini mungkin terdengar menjanjikan: lebih dekatnya pelayanan publik, otonomi daerah, pemerataan pembangunan. Namun di balik itu, masyarakat Papua terutama Orang Asli Papua (OAP) kini bertanya: "Untuk siapa semua ini dibangun?"
Alih-alih kesejahteraan, pemekaran ini kerap dirasakan sebagai jaring. Bukan jaring pengaman sosial, melainkan jaring kekuasaan dan modal yang perlahan mencengkeram hak-hak tanah adat, merampas hutan, dan menggusur komunitas. Di balik setiap distrik baru, ada jalan logging baru. Di balik desa administratif, ada izin konsesi. Setiap bendera pemekaran yang dikibarkan, sering kali menjadi tanda bahwa satu wilayah adat lagi telah dipecah, dikuasai, dan dialihfungsi.
Bagi masyarakat Papua, hutan bukan hanya sumber pangan dan obat-obatan. Hutan adalah rumah, sekolah, gereja, dan pusaka sejarah. Ketika pohon-pohon tumbang, bukan hanya oksigen yang hilang tapi juga identitas. Anak cucu mereka kehilangan akar yang menumbuhkan nilai, bahasa, dan spiritualitas. Tak ada pembangunan yang benar bila ia mencabut akar masyarakat yang dibangunnya.
Pemekaran sejatinya bukan masalah. Tapi jika ia datang tanpa mendengar suara rakyat, tanpa memikirkan kelestarian alam, dan tanpa menghormati hak ulayat, maka ia bukan pembangunan melainkan perampasan yang dibungkus legalitas.
Kini, saat excavator menghancurkan bukit demi bukit dan jalan-jalan aspal menembus hutan adat, orang Papua dipaksa menjadi penonton dalam skenario pembangunan yang tidak mereka tulis. Mereka berdiri dengan mata berkaca, melihat tanah leluhur berubah menjadi angka-angka dalam neraca ekonomi nasional.
Papua tidak butuh banyak nama administratif. Papua butuh pengakuan, perlindungan, dan keadilan. (*)
Belum ada Komentar
Posting Komentar