RUU TNI Mengugurkan Reformasih Dengan Boncengan Kepentingan Hukum Akumulasi Modal Di Papua
![]() |
Ist : penulis Varra Iyaba |
RUU TNI Mengugurkan Reformasi Dengan Boncengan Kepentingan Hukum Akumulasi Modal Di Papua
Oleh : Varra Iyaba
PENGANTAR
Syukur bagimu Tuhan, Alam, dan Leluhur. Kau beri aku kehidupan yang begitu luar biasa dan Beri aku rajin juga sampaikan maksudmu melalui agitasi propaganda untuk perjuangan pembebasan nasional Papua Barat. Tulisan ini dari ufuk timur Indonesia tentang sangkar derita rakyat Papua di bawah rezim kolonialisme Indonesia dari sejak 19 desember 1961 sampai sekarang 2025 dengan usia 64 tahun. Rakyat Papua masih eksis berjuang tentang cita – cita kemerdekaan karena orang Papua merasa tidak ada harapan kehidupan dibawah kekuasaan kolonialisme Indonesia
LATARBELAKANG
Rekam jejak sejarah orde baru di bawah rezim presiden soeharto telah revisi undang undang Dwifungsi TNI Nomor 20 tahun 1982 tentang ketentuan – ketentuan pokok pertahanan dan keamanan Negara Republik Indonesia, Dwifungsi memberikan peran ganda kepada militer yaitu fungsi tempur dan fungsi pembinaan masyarakat sipil. Tetapi Dwifungsi militer itu di gugurkan dengan kekuatan rakyat sipil memicu reformasi 1998 karena pada waktu iru militer mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan politik dan sosial. Keguguran Undang Undang Dwifungsi militer dengan reformasi rakyat itu kembalik melahirkan dengan rezim baru, mengunakan nama multifungsi Revisi undang – undang (RUU) TNI Nomor 34 tahun 2004, disahkan pada 20 Maret 2025 oleh DPR – RI, di Jakarta. Kemudian hari ini Dwifungsi muncul dengan wajah baru yang namanya multifungsi dengan 16 bidang ini tentu memberikan dampak dominasi dalam seluruh aspek kehidupan politik, Sosial, HAM, dan budaya, dan Lingkungan.
1. Kebudayaan Ekspansi Militerisme
Bicara soal negara kolonialisme berarti itu kejahatan kemanusiaan, perampokan sumber daya alam, dan membangun kebudayaan baru yang selalu di ciptakan oleh superstruktur yang namanya militerisme di dunia mana-pun kolonialisme mencaplok sebagai wilayah koloni. Militerisme adalah alat utama yang di gunakan oleh kolonialisme untuk menciptakan penindasan, penghisapan, diskriminasi, rasisme, marginalisasi, dan eksploitasi dimana daerah kolonialisme menguasai. Budaya kolonialisme di dunia tempat dimana bekas – bekas jajahan itu selalu mereka mengandalkan militerisme untuk ekspansi dengan kekuatan bersenjatah, begitu militer mendudukan dan berhasil menciptakan situasi yang kondusif, superstruktur lain masuk menduduki sesuai dengan kebutuhan negara kolonialisme itu sendiri.
Contoh kita sendiri menikmati penindasan hari ini karena pada 19 Desember 1961 negara kolonialisme Indonesia mengeluarkan manifesto politik di alun – alun Jakarta tentang Trikora itu penuh dengan nafsu kekuasaan wilayah West Papua, akhirnya alat utama ekspansi di tanah Papua itu militerisme melalui Operasi Mandala. Kolonialisme Indonesia berhasil merebut West Papua dengan kekuatan militerisme, memobilisasi rakyat sipil, dan menggalang diplomasi internasional demi kepentingan ekonomi – politik.
Jika kita kalau analisa soal RUU TNI dari 16 bidang itu bagian dari satu bentuk hukum yang melegalkan kejahatan negara dengan boncengan kepentingan ekonomi politik bagi system tau bangkak yang di sebut kapitalisme dan negara – negera perampok dunia yang namanya Imperialisme. Revisi Undang – Undang TNI adalah salah satu undang – undang yang melegalkan kejahatan militerisme kolonialisme demi kepentingan hukum akumulasi modal bagi negara – negara imperialis yang memegang kendali pusat prekonomian di Indonesia.
Revisi Undang- undang TNI yang di sahkan pada 20 Maret 2025 ini murni konsep yang di gagas Para kapitalisme demi mengamankan kepentingan perusahaan yang sedang beroperasi di indonesia, terlebih khusus di tanah Papua. Tempat dimana perusahaan beroperasi, tentu rakyat di usir paksa dengan kekuatan bersenjata yang militerisme sebagai anjing bagi kolonialisme indonesia.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Di Ciptakan Oleh Militerisme Indonesia Terhadap Rakyat Papua
Pelanggaran HAM di Papua terjadi mulai dari sejak 19 Desember 1961 dimana Presiden Ir.Soekarno mengumumkan manifesto Tri Komando Rakyat (STRIKORA) di alun – alun Batavia / Jakarta, itu awal mula pelanggaran hak politik orang Papua di tentukan oleh negara kolonialisme Indonesia. Kemudian setelah itu pada 15 Agustus 1962 terjadinya perjanjian Roma Egreement, perjanjian New York Egreement 1 Mei 1963 itu ruang – ruang politik orang Papua yang harus di libatkan tetapi orang Papua tidak pernah di libatkan itu merupakan bentuk – bentuk pelanggaran hak politik bagi rakyat Papua yang di lakukan oleh negara kolonialisme Indonesia, Kolonialisme Belanda, dan Imperialisme Amerika Serikat.
Kita juga telah saksikan bersama soal sejarah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di laksanakan pada 1969 yang tidak demokratis dan manipulative karena waktu itu orang Papua melakukan pemilihan di bawah ancama, terror, intimidasi, dan ada tokoh – tokoh masyarakat juga yang di isolasi dengan perempuan non Papua sebagai alat tawar Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Akhir dari penentuan pendapat Rakyat (PEPERA) masyarakat di berikan Supermi, beras, Pakaian, belangga, piring, senduk, dan sabun mandi sebagai tanda terimakasi oleh negara atas memenangkan pemilihan. Tetapi kami sebagai korban atas hak politik orang Papua melihat ini satu bentuk penghinaan, bentuk diskriminasi, dan rasialisme politik terhadap orang Papua. Alat utama negara kolonialisme indonesia untuk memobilisasi penentuan pendapat rakyat (PEPERA) adalah militerisme/ ABRI pada waktu itu memainkan peran terror, intimidasi, pembungkaman ruang kebebasan pemilihan, dan kebebasan berpendapat dalam proses pemilihan.
Majelis Rakyat Papua mengutip laporan tentang operasi militer di Papua pada 1963 – 2004 dari laporan berjudul Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil Dokumentasi bersama kelompok kerja pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM Perempuan Papua 2009 – 2010 ada 15 operasi Militer. Tetapi di tambah dengan Peluncuran operasi Memangkawi di mulai dari sejak 5 Januari 2018 sampai berakhir 2020 di ganti dengan nama operasi Damai Cartenz sekarang sudah meningkat 17 operasi Militer.
1. Operasi Wisnumurti I dan II, Operasi ini dilakukan pada Mei 1963 hingga April 1964. Pimpinan operasi ini adalah Brigjen U Rukman. Tidak diketahui tujuan operasinya.
2. Operasi Wisnumurti III dan IV, Operasi Giat, Operasi Tangkas dan Operasi Sadar, Operasi ini dilakukan pada 1964 hingga 1966 dengan dipimpin oleh Brigjen Kartidjo. Tidak diketahui tujuan dari operasi itu.
3. Operasi Baratayudha , Operasi ini dilakukan pada Maret 1966 dengan tujuan operasinya untuk menghancurkan OPM dan memenangkan PEPERA. Operasi ini dipimpin oleh Brigjen R. Bintoro.
4. Operasi Sadar, Baratayudha dan Operasi Wibawa, Operasi ini dilakukan pada 25 Juni 1968 dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo dengan tujuan operasi untuk persiapan penyelenggaraan ’Pepera’.
5. Operasi Pamungkas, Operasi ini dilakukan antara 1970 – 1974 dengan dipimpin oleh Brigjen Acub Zainal. Tidak diketahui tujuan operasinya.
6. Operasi Kikis, Operasi ini dilakukan pada 1977 hingga 1978 dan dipimpin oleh Jenderal Imam Munandar dengan tujuan operasi di sepanjang perbatasan RI-PNG.
7. Operasi Sapu Bersih, Operasi ini dilakukan pada tahun 1978 – 1982, dipimpin oleh Jenderal C.I Santoso dengan tujuan operasi untuk mengejar OPM di Biak dan penjagaan perbatasan RI-PNG.
8. Operasi Sate, Dilakukan pada tahun 1984, dipimpin oleh R.K. Sembiring Meliala. Tujuan operasi di Jayapura dan perbatasan RI-PNG. Operasi ini mengakibatkan puluhan ribu orang Papua mengungsi ke PNG.
9. Operasi Galak I, dilakukan pada 1985-1986 dengan dipimpin oleh Mayjen Simanjuntak.
10. Operasi Galak II, dilakukan pada 1986 – 1987, dipimpin oleh Setiana.
11. Operasi Kasuaru I dan II, dilakukan pada tahun 1987-1989, dipimpin oleh Wismoyo Arismunandar.
12. Operasi Rajawali I dan II, dilakukan pada 1989-1991, dipimpin oleh Abinowo.
13. Operasi pengamanan daerah rawan, dilakukan pada 1998 – 1999, dipimpin oleh Amir Sembiring.
14. Operasi Pengendalian pengibaran, dilakukan pada 1999-2002 Pengendalian Pengibaran Bintang Kejora, dipimpin oleh Mahidin Simbolon.
15. Operasi Penyisiran di Wamena, dilakukan pada 2002 – 2004, dipimpin oleh Nurdin Zaenal.
16. Peluncuran operasi Memangkawi di mulai dari sejak 5 Januari 2018 sampai berakhir 2020.
17. Dan sekarang operasi Damai Cartenz sudah di mulai sejak 2020 hingga detik di masih beroperasi di daerah Intan Jaya, Nduga, Yahukimo, Maybrad, Kepulauan Yapen, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Tambrauw, dan pada umumnya di Tanah Papua.
Peluncuran operasi Nemangkawi dan Damai Cartenz menciptakan 86 ribu pengungsi dalam skala besar, itu tidak terhitung dengan nyawa warga sipil yang di tembak mati oleh militerisme colonial Indonesia. Dua operasi ini paling kejam di Papua karena hampir 8 daerah itu warga sipil mengalami kejahatan kemanusiaan yang sangat luar biasa karena dalam proses operasi militer Kolonial Indonesia tidak mengunakan pendekatan hukum humaniter / hukum perang Internasional dimana hukum itu di atur tentang aturan perang.
Apalagi kita telah mengetahui bersama bahwa pada 20 Maret 2025 Revisi Undang – Undang militerisme di sahkan oleh DPR-RI, justru mengancam eksistensi demokrasi, HAM, dan hak politik bagi orang Papua. Dan tentu RUU TNI ini juga melegalkan segala bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi di atas tanah Papua, kemudian selain itu RUU TNI menjadi multi-fungsi ancaman bagi seluruh manusia baik yang ada dalam sistem birokrasi kolonial maupun rakyat biasa di luar.
3. Peran Militerisme Kolonial Indonesia Di Papua Daerah Investasi
Para investor yang memiliki kepentingan tentu mengutamakan militer sebagai alat pengamanan akumulasi modal / proses eksploitasi Sumber Daya Alam yang di miliki oleh rakyat Papua. Apabilah rakyat merontak atas perampokan Sumber Daya Alam atau melawan atas investasi, sudah pasti investor mengunakan kekuatan militer untuk alat terror dan intimidasi terhadap rakyat Papua, karena secara hukum tentang peran militerisme dalam perusahaan sudah di legalKAN. Revisi Undang – Undang Nomor 34 tahun 2004 (RUU TNI) telah disahkan oleh RPR – RI, pada hari Kamis 20 Maret 2025, dalam pasal 7 di atur tugas – tugas Operasi Militer Selain Perang (OPSP), berjumlah 16 bidang.
Daftar Operasi Militer selain Perang dalam (RUU TNI)
1) Mengatasi gerakan separatis bersenjata;
2) Mengatasi gerakan pemberontakan;
3) Mengatasi aksi terorisme;
4) Mengamankan wilayah perbatasan;
5) Mengamankan obhek vital Nasional yang bersifat strategis;
6) Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri;
7) Mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya;
8) Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuasaan penduduk secara dini sesuai system pertahanan semesta;
9) Membantu tugas pemerintah di daerah;
10) Membantu POLRI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang di atur dalam undang – undang;
11) Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
12) Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan;
13) Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan;
14) Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayanan dan penerbangan terhadap pembajakan, perampokan, dan penyelundupan;
15) Membantu upaya menanggulangi ancaman siber;
16) Membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri;
4. Peran Militerisme kolonial Indonesia Di Papua Daerah Konlik Bersenjata
Kita telah ketahui bersama bahwa Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) dari sejak 19 Desember 1961 dimana West Papua di caplok secara Paksa dengan muatan kepentingan ekonomi politik. Militerisme Kolonial Indonesia di Papua menciptakan refresif terhadap warga sipil dengan bentuk terror, Intimidasi, penangkapan, penghilangan nyawa, penembakan, dan memutilasi rakyat tanpa ada belas kasih sedikit – pun. Dalam aspek kehidupan rakyat Papua di kontrol mati oleh militerisme mengunakan superstruktur bawahan yaitu Bantuan polisi (BANPOL), Barisan Merah Puti (BMP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan ORMAS Nusantara yang sudah bangun dalam setiap kota di Papua.
Militerisme di Papua memainkan peran sebagai guru, tenaga kesehatan, tenaga pembangunan Infrastruktur, penguasaan pedagang roda empat, ojek online, investor perusahaan, sopir taxi, agent Judi, perdagangan minuman keras, dan banyak hal yang lain yang masih di control oleh militer TNI /POLRI. Militerisme colonial Indonesia menjadi mesin pembunuhan dan penghancuran tatana kehidupan rakyat Papua, karena militer yang menjadi actor utama dalam proses genosida, ekosida, dan etnosida. Ruang hidup, kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi rakyat Papua di bungkam habis dengan moncong senjata, katanya alat negara tetapi fakta di Papua itu alat pembunuh manusia.
5. Ruang Demokrasi Bagi Rakyat Papua
Kami jujur menyampaikan bahwa orang Papua masih ada dalam belenggu kolonialisme karena setiap ruang di bungkam dan membatas hak menyampaikan pendapat di muka umum secara tertulis maupun tersirat. Setiap aksi demonstrasi, aksi mimbar bebas, Nobar Film, dan diskusi – diskusi publik di bubarkan paksa dengan arogansi militer sebagai anjing penjaga negara kolonialisme Indonesia di Papua, bawakan mengeluarkan tembakan dan penangkapan sewenang – wenang di laksanakan.
Pada hal kita tau bahwa ada hukum yang mengatur tentang bagaimana setiap orang memiliki hak berpendapat dalam ruang apapuan, tetapi negara Kolonialisme Indonesia mengunakan hukum itu untuk kepentingan elit birokrasi dan para investor yang memiliki kepentingan eksploitasi Sumberda Daya Alam (SDA) di Tanah Papua. Rakyat Papua tidak tahu namanya demokrasi melainkan kejahatan kemanusiaan yang di nikmati, demokrasi berlaku di Papua sebagai ajang kepalsuan dan penipuan negara untuk mengamankan kepentingan politik kekuasaan serta eksploitasi hak atas rakyat tertindas.
Apa lagi Multifungsi Revisi Undang – Undang TNI Nomor 34 tahun 2004, disahkan pada 20 Maret 2025 oleh DPR – RI di Jakarta, dengan 16 bidang sebagai peran ganda militer tentu mengancam ruang hidup rakyat sipil. Di era reformasi saja terjadi pembungkaman ruang demokrasi sangat massif, apalagi kembali di orde lama ini sudah pasti semua ruang rakyat akan di bungkam oleh militerisme colonial Indonesia di Papua.
Demokrasi kolonialisme Indonesia berlaku di Papua sebagai slogan kosong itu bisa di lihat dari beberapa contoh di bawah ini:
1) Pada 1 Desember 1961 rakyat Papua telah menyatakan diri merdeka dari belenggu kolonialisme Belanda tetapi dengan berbagai kepentingan negara kolonialisme membubarkan negara Papua Barat dengan kekuatan militer itu satu bentuk tindakan negara yang mencederai demokrasi Indonesia. Pada hal kita tahu bahwa dalam undang – undang dasar Negara Republic Kolonial Indonesia menyatakan bahwa “ Sesunggunya Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan.” Tetapi fakta membuktikan bahwa negara kolonialisme Indosia tidak menegakan Undang – undang dasar sebagai panglima, negara justrus mencederainya sendiri dengan boncengan kepentingan ekonomi politik.
2) Rakyat Papua memiliki rekam jejak sejarah bahwa pada 15 Agustus 1962 terjadinya perjanjian Roma Egreement tidak pernah melibatkan orang Papua satu - pun ini satu bentuk pelanggaran hak menyampaikan pendapat. Orang Papua waktu itu tidak di berikan kesempatan maupun ruang agar memberikan pendapat untuk menentukan hak politik bagi mereka, tetapi semua keputusan itu tanpa ada keterlibatan orang Papua.
3) Pada 1 Mei 1963 bangsa Papua di aneksasi secar paksa ke dalam negara kolonialisme Indonesia juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak politik karena orang Papua memiliki hak untuk menentukan nasipnya sendiri.
4) Kemudian pada 14 Juli 1969 negara kolonialisme Indonesia mengunakan wajah demokrasi palsu, dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang penuh manipulative, dan tidak demokratis. Pelaksanaan penentuan Pendapat Rakyat di bawah tekanan, terror, intimidasi, penangkapan, pemukulan, dan penembakan terhadap orang Papua tanpa memberikan ruang sedikit – pun untuk orang Papua menentukan nasibnya sendiri. Orang Papua mengakui bahwa Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang di gelar oleh negara kolonialisme Indonesia di atas tanah Papua adalah Ilegal.
5) Kebijakan otonomi khusus di Papua jilid I Nomor 21 tahun 2001 dan jilid II juga tanpa melibatkan orang asli Papua ini juga bagian dari pada negara mempraktikan cara – cara otoritarianisme, tidak mengunakan cara yang demokratis. Seharusnya orang Papua menentukan nasipnya sendiri tanpa ada pemerintahan kolonialisme yang menentukan karena yang di inginkan orang Papua bukan otonomi khusus tetapi kemerdekaan bagi bagsa Papua Barat. Negara memaksakan kehendak orang Papua demi kepentingan akumulasi modal di Tanah Papua, karena kita bisa lihat dari era Otsus ribuan perusaan yang di izinkan masuk beroperasi di Tanah Papua. Hal itu bukti bahwa Otsus di berikan terdorong dari kepentingan nafsu eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua.
6. Tuntutan Rakyat Papua Tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS)
Rakyat Papua memiliki kerinduan tentang kemerdekaan jauh sebelum West Papua di caplok ke dalam negara kolonialisme Indonesia karena kita bisa lihat dari upaya orang Papua sendiri yang mengagas konsep bernegara, Gubernur Nederlan Nieuw Guinea restu Ratu Belanda mendorong Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua Barat) untuk mempersiapkan atribut – atribut bangsa Papua. Sehingga Dewan Papua Barat membentuk Komite Nasional Papua (KNP) untuk memfasilitasi forum demokratis yang di sebut dengan Kongres Rakyat Papua I pada tanggal 17 – 19 Oktober 1961.
Dalam kongres itu mempersiapkan atribut – atribut bangsa Papua dan mengesahkan, dan pada 1 Desember 1961 mengumumkan kemerdekaan, namun pada 19 Desember 1961 kembali di bubarkan paksa oleh negara kolonialisme Indonesia melalui Trii Komando Rakyat (TRIKORA). Itu satu bentuk bukti bahwa orang West Papua tidak ada keinginan atau memiliki kehendak hidup bersama negara kolonialisme Indonesia yang berwatak mencuri, merampok, merampas, membunuh, dan memarginalkan manusia. Sehingga orang Papua mempersiapkan diri untuk merdeka dan berdaulat atas tanah airnya sendiri.
Upaya orang Papua juga tentang kemerdekaan telah mendeklarasikan kemerdekaan pada 14 Desember 1988 dan mereka tidak ada berkeinginan sama sekali hidup bersama penjajah tetapi negara kolonialisme Indonesia mengunakan alat yang namanya militerisme untuk membubarkan negara West Papua. Kemudian pada tahun 2000 orang Papua mengkonsolidasikan diri dalam Presidium Dewan Papua mengelar Kongres Rakyat Papua II dengan hanya satu misi yaitu, Menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS), tetapi faktanya negara kolonialisme Indonesia persekusi tokoh politik rakyat Papua (Theys Hiyo Eluay) dan memberikan Otonomi Khusus Nomor 21 tahun 2001. Setiap ruang orang West Papua menentukan nasibnya sendiri, pasti saja ada intervensi negara melalui kekuatan militer untuk membubarkan setiap upaya – upaya kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat.
#JANGAN_DIAM_LAWAN
"Tulisan ini sepenuhnya bertanggung jawab oleh penulis"
Belum ada Komentar
Posting Komentar