𝗣𝗘𝗦𝗔𝗡 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗘𝗝𝗨𝗧𝗞𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗥𝗜 𝗣𝗥𝗘𝗦𝗜𝗗𝗘𝗡 𝗜𝗕𝗥𝗔𝗛𝗜𝗠 𝗧𝗥𝗔𝗢𝗥𝗘 𝗞𝗘𝗣𝗔𝗗𝗔 𝗣𝗔𝗨𝗦 𝗟𝗘𝗢 𝗫𝗜𝗩
𝗣𝗘𝗦𝗔𝗡 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗘𝗝𝗨𝗧𝗞𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗥𝗜 𝗣𝗥𝗘𝗦𝗜𝗗𝗘𝗡 𝗜𝗕𝗥𝗔𝗛𝗜𝗠 𝗧𝗥𝗔𝗢𝗥𝗘 𝗞𝗘𝗣𝗔𝗗𝗔 𝗣𝗔𝗨𝗦 𝗟𝗘𝗢 𝗫𝗜𝗩
https://www.youtube.com/watch?v=twqatArjV1M
𝙆𝙚𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙎𝙧𝙞 𝙋𝙖𝙪𝙨 𝙍𝙤𝙗𝙚𝙧𝙩 𝙁𝙧𝙖𝙣𝙘𝙞𝙨 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙈𝙪𝙡𝙞𝙖,
Saya menulis kepada Anda, bukan dari istana, bukan pula dari kenyamanan kedutaan asing, tetapi dari tanah air saya—Burkina Faso—tempat debu bercampur dengan darah para martir kami, dan gema revolusi lebih nyaring dari dengungan drone asing di atas kepala.
Saya tidak menulis sebagai seorang yang mencari pengakuan, juga bukan sebagai diplomat penuh basa-basi. Saya menulis sebagai anak Afrika—𝙩𝙚𝙧𝙡𝙪𝙠𝙖, 𝙣𝙖𝙢𝙪𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙩𝙪𝙣𝙙𝙪𝙠. Anda kini adalah bapak rohani bagi lebih dari satu miliar jiwa, termasuk jutaan jiwa di Afrika. Anda tidak hanya mewarisi gereja, 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥𝙞 𝙟𝙪𝙜𝙖 𝙬𝙖𝙧𝙞𝙨𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙟𝙖𝙧𝙖𝙝. Dan di momen transisi ini, sementara asap putih masih melayang di atas atap Vatikan, saya harus mengirim surat ini melintasi lautan dan gurun, melampaui batas dan gerbang—langsung ke hati Anda.
𝙆𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙨𝙚𝙟𝙖𝙧𝙖𝙝 𝙢𝙚𝙣𝙪𝙣𝙩𝙪𝙩𝙣𝙮𝙖. 𝙆𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙣𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙠𝙨𝙖𝙣𝙮𝙖. 𝙆𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝘼𝙛𝙧𝙞𝙠𝙖—𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙪𝙠𝙖 𝙙𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙣𝙜𝙠𝙞𝙩—𝙨𝙚𝙙𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙮𝙖𝙠𝙨𝙞𝙠𝙖𝙣 𝘼𝙣𝙙𝙖.
Yang Mulia,
Kami orang Afrika mengenal kekuatan salib. Kami mengenal himne, doa, dan litani. Kami membangun gereja dengan tangan yang kapalan dan membela iman kami dengan darah. 𝙏𝙖𝙥𝙞 𝙠𝙖𝙢𝙞 𝙟𝙪𝙜𝙖 𝙩𝙖𝙝𝙪 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙣𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙡𝙖𝙞𝙣—𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙨𝙚𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙠𝙪𝙗𝙪𝙧: bahwa Gereja terkadang berjalan seiring dengan para penjajah. Bahwa saat para misionaris mendoakan jiwa kami, para tentara menginjak-injak tanah kami. Bahwa saat para pendahulu Anda berbicara tentang surga, 𝙡𝙚𝙡𝙪𝙝𝙪𝙧 𝙠𝙖𝙢𝙞 𝙙𝙞𝙧𝙖𝙣𝙩𝙖𝙞 𝙙𝙞 𝙗𝙪𝙢𝙞.
Bahkan hari ini, 𝙙𝙞 𝙯𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙨𝙚𝙗𝙪𝙩 𝙢𝙤𝙙𝙚𝙧𝙣 𝙞𝙣𝙞, 𝙠𝙖𝙢𝙞 𝙢𝙖𝙨𝙞𝙝 𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙡𝙚𝙣𝙜𝙜𝙪 𝙞𝙩𝙪—bukan lagi dari besi, tetapi dari diam, dari acuh, dari 𝙥𝙚𝙧𝙢𝙖𝙞𝙣𝙖𝙣 𝙜𝙚𝙤𝙥𝙤𝙡𝙞𝙩𝙞𝙠 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙢𝙖𝙞𝙣𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝙗𝙖𝙡𝙞𝙠 𝙗𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜-𝙗𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙪𝙙𝙪𝙨.
Maka saya bertanya, atas nama para ibu yang berdoa di atas lantai tanah dan anak-anak yang belajar katekismus dengan perut kosong:
𝘼𝙠𝙖𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙪𝙨𝙖𝙣 𝘼𝙣𝙙𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙗𝙚𝙙𝙖?
Akankah Anda menjadi paus yang melihat Afrika bukan sebagai pinggiran, tetapi sebagai pusat nubuat?
Akankah Anda menjadi paus yang tidak hanya mengunjungi pemukiman kumuh untuk berfoto, tetapi yang berani bersuara lantang terhadap kekuatan yang membuat kemiskinan itu abadi?
Yang Mulia,
Saya adalah manusia yang dibentuk oleh perang, bukan oleh kekayaan. Saya tidak dididik dalam politik oleh institusi Barat. Saya tidak belajar diplomasi di Paris. Saya belajar memimpin dari parit-parit bersama rakyat—𝙙𝙞 𝙢𝙖𝙣𝙖 𝙧𝙖𝙨𝙖 𝙨𝙖𝙠𝙞𝙩 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙜𝙪𝙧𝙪, 𝙙𝙖𝙣 𝙝𝙖𝙧𝙖𝙥𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙗𝙚𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙥𝙚𝙧𝙡𝙖𝙬𝙖𝙣𝙖𝙣.
Saya memimpin bangsa yang dahulu diabaikan oleh dunia, sampai kami menolak untuk tetap diam.
Kami dibilang terlalu miskin untuk merdeka, terlalu lemah untuk berdaulat, terlalu tidak stabil untuk melawan.
Tapi saya katakan ini 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙪𝙖𝙧𝙖 𝙥𝙖𝙧𝙖 𝙡𝙚𝙡𝙪𝙝𝙪𝙧 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙜𝙚𝙢𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙙𝙖𝙙𝙖 𝙨𝙖𝙮𝙖:
𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘶𝘬 𝘮𝘪𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘰𝘳𝘢𝘭.
𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘴𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘳𝘰𝘩𝘢𝘯𝘪 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘫𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘳𝘶𝘮𝘪𝘵.
Yang Mulia,
Saya berbicara bukan hanya untuk Burkina Faso, tapi𝗻𝘁𝘂𝗸 𝘀𝗲𝗹𝘂𝗿𝘂𝗵 𝗯𝗲𝗻𝘂𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗶𝗿𝗲𝗺𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻. Afrika bukan benua yang patut dikasihani. Afrika adalah benua para nabi. Para nabi yang dipenjara, diasingkan, bahkan 𝗱𝗶𝗯𝘂𝗻𝘂𝗵 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗻𝗶 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗸𝗮𝗶𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻.
Dan sekarang Anda, yang memakai cincin Santo Petrus—𝗮𝗸𝗮𝗻𝗸𝗮𝗵 𝗔𝗻𝗱𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗻𝗮𝗯𝗶?
Atau justru menjadi tahanan politik lainnya?
Kami tidak butuh lebih banyak ungkapan manis.
Kami tidak butuh lebih banyak “doa dan pikiran baik” sementara perusahaan-perusahaan Barat mengeruk uranium dari Niger dan emas dari Kongo di bawah penjagaan bersenjata.
Kami tidak butuh netralitas diplomatik saat anak-anak muda Afrika tenggelam di Laut Tengah, melarikan diri dari perang yang bukan mereka mulai dan senjata yang bukan mereka buat.
Kami tidak butuh pernyataan manis saat kedaulatan kami dilelang secara diam-diam di Brussel, Washington, dan Jenewa.
Yang kami butuhkan adalah seorang Paus yang akan menyebut nama Herodes zaman modern.
Yang akan mengguntur melawan kekaisaran ekonomi sebagaimana dulu gereja mengguntur melawan komunisme.
Yang akan berkata tanpa malu:
Adalah dosa bagi bangsa-bangsa untuk meraup untung dari kehancuran Afrika.
Anda tahu ajaran Kristus. Anda tahu Dia membalik meja para penukar uang. Anda tahu Dia berkata:
> “𝘉𝘦𝘳𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘥𝘢𝘮𝘢𝘪,”
> 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘋𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢:
> “𝘉𝘦𝘳𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘶𝘢𝘴𝘢.”
𝗠𝗮𝗸𝗮 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗲𝗿𝘂𝘀 𝘁𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴:
Akankah Anda bersuara menentang diamnya Prancis dan operasi-operasinya di Sahel?
Akankah Anda mengutuk perjanjian senjata yang menyulut perang proksi di gurun dan hutan kami?
Akankah Anda menyebut kerakusan yang menyamar sebagai amal, diplomasi yang menyamar sebagai imperialisme?
𝗞𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗸𝗮𝗺𝗶 𝗺𝗲𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮. 𝗞𝗮𝗺𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗹𝗮𝗺𝗶𝗻𝘆𝗮.
Yang Mulia,
Saya tidak meminta Anda menjadi orang Afrika.
𝗦𝗮𝘆𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗔𝗻𝗱𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗺𝗮𝗻𝘂𝘀𝗶𝗮.
𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗼𝗿𝗮𝗹.
𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗻𝗶.
Karena keberanian sejati bukanlah memberkati para berkuasa.
Keberanian sejati adalah membela yang tak berdaya, walau harus membayar harga.
Gereja Vatikan punya kekayaan yang melampaui bayangan, karya seni tak ternilai, dan akses lintas batas. Tapi kekuasaan sejati diukur dari keberanian menghadapi ketidakadilan—meski datang dengan setelan jas mahal dan senyum diplomatik.
Yang Mulia,
𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗱𝗶 𝘁𝗲𝗽𝗶 𝗷𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴.
Afrika—yang babak belur namun indah—tidak hanya menonton dari bawah. Kami sedang mendaki. 𝗞𝗮𝗺𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗱𝗮𝗿𝗮𝗵. 𝗞𝗮𝗺𝗶 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗸𝗶𝘁.
𝗗𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗺𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗻𝗶 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮:
> 𝘋𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘨𝘦𝘳𝘦𝘫𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘱𝘳𝘦𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘪𝘨𝘶𝘭𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘢𝘺𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘴𝘱𝘰𝘯𝘴𝘰𝘳𝘪 𝘢𝘴𝘪𝘯𝘨?
> 𝘋𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘨𝘦𝘳𝘦𝘫𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘪𝘤𝘶𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘢𝘫𝘶𝘳𝘪𝘵 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘪𝘢𝘺𝘢𝘪 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘯𝘦𝘨𝘢𝘳𝘢-𝘯𝘦𝘨𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘥𝘢𝘮𝘢𝘪𝘢𝘯?
> 𝘋𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘨𝘦𝘳𝘦𝘫𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘢𝘯𝘫𝘭𝘰𝘬, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘐𝘔𝘍 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘦𝘬𝘪𝘬 𝘦𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘪, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘪𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘩 𝘬𝘦𝘥𝘢𝘶𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘶𝘯𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯?
𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗿𝘂𝗵 𝗸𝗮𝗺𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗮𝗳𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗰𝗮𝗺𝗯𝘂𝗸 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗱𝗶 𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗶 𝗽𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂.
Jangan suruh kami berdoa, sementara doa kami dibalas dengan serangan drone.
Jangan berbicara tentang damai, tanpa menyebut penjual perang.
𝗞𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗱𝗶𝗮𝗺 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗸𝘂𝗱𝘂𝘀.
𝗗𝗮𝗻 𝗻𝗲𝘁𝗿𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮.
Jika Anda benar gembala kawanan global ini, maka dengarkan jeritan kami dari debu Ouagadougou.
Kami juga domba Anda. Tapi kami tidak hanya diam merumput—kami turun ke jalan, gugur di garis depan, dan bangkit dari abu dengan api di dada dan kitab suci di tangan.
𝗞𝗮𝗺𝗶 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗮𝗺𝗮𝗹.
𝗞𝗮𝗺𝗶 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗻𝘁𝘂𝘁 𝗸𝗲𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻.
𝗗𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗱𝗶𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗲𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿𝗮𝗻:
Bahwa Kekristenan di Afrika telah menjadi obat penyembuh 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗹𝗶𝗴𝘂𝘀 𝗽𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗲𝗺𝗶𝘀𝗮𝗵.
Bahwa gereja memberi makan roh kami, tetapi gagal melindungi tubuh kami.
Bahwa penebusan tanpa pertanggungjawaban adalah 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿𝗮𝗻 (half truth) —𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗺𝗯𝘂𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗻𝗴𝘀𝗮.
Yang Mulia,
Kini Anda duduk di Tahta Santo Petrus.
Tapi ingat, Petrus menyangkal Kristus tiga kali sebelum ayam berkokok.
Jangan sampai sejarah mencatat bahwa gereja sekali lagi menyangkal Afrika.
Biarlah ayam itu berkokok di Vatikan.
Dengan keras. Dengan jelas.
Biarlah ia membangunkan hati nurani para kardinal dan raja.
Biarlah ia bergema di lorong-lorong kekuasaan, tempat jubah dan seragam saling bertukar pengaruh demi diam.
Biarlah itu menandakan fajar baru—bukan hanya bagi Gereja, tapi bagi dunia.
Karena di Afrika, kami tidak takut dengan dogma.
Kami menciptakannya.
Kami adalah anak-anak Sankara, Lumumba, Nkrumah, dan Biko.
Kami menggenggam kitab suci di satu tangan dan kenangan revolusi di tangan lainnya.
Kami telah belajar berdoa dan berprotes dalam satu tarikan napas.
Maka kami bertanya:
Akankah kepausan Anda berjalan bersama kami?
Akankah Anda menemui kami dalam derita, bukan hanya di bangku gereja?
Akankah Anda mengenali Allah dalam kelaparan kami, Kristus dalam kekacauan kami, Roh Kudus dalam perjuangan kami?
Karena kalau bukan sekarang, kapan?
Kalau bukan Anda, siapa?
Dan jika gereja terus memberitakan damai sambil menutup mata terhadap mesin penindasan, maka Injil apa yang masih layak dipercaya?
𝗦𝗮𝘆𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗶𝗻𝗶 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵,
𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘂𝗿𝗴𝗲𝗻𝘀𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗸𝗿𝗮𝗹.
𝗞𝗮𝗺𝗶 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗻𝗴𝘀𝗮 𝗱𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗶𝗺𝗽𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗻𝘂𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗽𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸.
Waktu Afrika bukan lagi akan datang—
Ia sudah tiba.
𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘯𝘢𝘳𝘢𝘴𝘪, 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘦𝘱𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘢𝘳𝘵𝘢𝘣𝘢𝘵 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙧𝙖𝙢𝙥𝙖𝙨 𝙤𝙡𝙚𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙗𝙖𝙙-𝙖𝙗𝙖𝙙 𝙥𝙚𝙣𝙟𝙖𝙟𝙖𝙝𝙖𝙣 𝘥𝘢𝘯 𝙢𝙖𝙣𝙞𝙥𝙪𝙡𝙖𝙨𝙞 𝙧𝙤𝙝𝙖𝙣𝙞.
Dan kini Gereja harus memilih:
Bersama para penguasa, atau bersama rakyat yang berdarah.
Saya tidak menulis surat ini untuk mengutuk, tetapi untuk mengundang.
Mengundang Anda, Yang Mulia,
𝙠𝙚 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙨𝙤𝙡𝙞𝙙𝙖𝙧𝙞𝙩𝙖𝙨 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢. 𝙎𝙤𝙡𝙞𝙙𝙖𝙧𝙞𝙩𝙖𝙨 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙟𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙖𝙡𝙖𝙨 𝙠𝙖𝙠𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙠𝙖𝙪𝙢 𝙢𝙞𝙨𝙠𝙞𝙣.
Yang berani menyatakan kebenaran di Roma 𝙨𝙚𝙠𝙚𝙧𝙖𝙨 𝙨𝙚𝙥𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙙𝙞 𝙍𝙬𝙖𝙣𝙙𝙖.
Yang menyebut orang-orang kudus bukan hanya dari mukjizatnya, tetapi dari 𝙠𝙤𝙢𝙞𝙩𝙢𝙚𝙣 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙝𝙖𝙙𝙖𝙥 𝙠𝙚𝙖𝙙𝙞𝙡𝙖𝙣.
Kami menantikan suara Anda—
bukan dari balkon megah,
tetapi dari parit perjuangan,
dari kamp pengungsi,
dari balik jeruji penjara politik,
tempat kebenaran dikurung.
Karena hanya suara Anda—
jika Anda berani menyuarakannya—
yang bisa menebus diam.
Dan jika Anda melakukannya,
bukan hanya Afrika yang akan mendengarnya—
Dunia akan bersaksi.
𝗞𝗮𝗽𝘁𝗲𝗻 𝗜𝗯𝗿𝗮𝗵𝗶𝗺
𝗣𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗧𝗿𝗮𝗻𝘀𝗶𝘀𝗶, 𝗕𝘂𝗿𝗸𝗶𝗻𝗮 𝗙𝗮𝘀𝗼
𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘬𝘢
𝘗𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯 𝘒𝘦𝘥𝘢𝘶𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯
Belum ada Komentar
Posting Komentar