Thomas Ch Syufi : Rakyat Papua dan KNPB Menolak News York Agreement
Dok.Pri : Thomas Ch Syufi |
Oleh : Thomas Ch Syufi/ Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights
Pada 15 Agustus 2024, di seluruh tanah Papua terutama di Kota Jayapura digelar aksi demonstrasi damai yang digagas Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk memperingati 62 tahun New York Agreement atau Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962.
Namun, dalam aksi yang mendapat pengawalan ketat satuan aparat Kepolisian Resor Kota Jayapura, terdengar sebuah pertanyaan berbentuk pernyataan yang diduga dilontarkan oleh seorang pejabat Polresta Jayapura saat beradu pendapat dengan massa aksi di pelataran Museum Papua, Ekspo, Waena yaitu ‘apakah KNPB terdaftar di Kesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik) ?
Pernyataan yang hampir senada juga pernah dilontarkan oleh Kesbangpol Provinsi Papua bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas), termasuk KNPB yang tidak terdaftar secara resmi di pemerintah daerah dapat dibubarkan oleh pihak kepolisian (papua.go.id, 2022).
Pernyataan ini menarik untuk dibahas lebih jauh perihal kedudukan hukum atau legal standing KNPB dalam negara hukum Indonesia. Bila kita menyinggung negara hukum, maka hal utama yang muncul dalam benak dan pikiran kita adalah tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Hal pokok yang beriringan dengan tiga tujuan hukum tersebut adalah hak dan kewajiban hukum dari setiap subjek hukum itu sendiri. Sekaligus tujuan hukum juga adalah membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang: menerawang, penafsiran hukum menurut kemauan sendiri, kehendak kekuasaan, tirani mayoritas, dan monopoli kebenaran sepihak.
Tak terdaftar
Benarkah KNPB tidak terdaftar di Kesbangpol? Tentu jawabannya, benar. KNPB adalah organisasi yang memiliki visi politik berbeda dengan cita-cita negara Indonesia yang telah diatur dalam prinsip bernegara dan norma hukum positif. Mulai dari Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia.
Bahkan diyakini KNPB tidak mungkin akan mendaftarkan diri ke Kesbangpol karena kiblat perjuangan KNPB berbeda, yaitu ingin mewujudkan kemerdekaan penuh bagi Papua melalui cara-cara damai (nir kekerasan). KNPB kerap getol menyuarakan isu referendum sebagai solusi demokratis dan bermartabat untuk mengakhiri perdebatan, gejolak, dan perang yang menewaskan ratusan ribu orang selama 60,an tahun di tanah Papua.
Bisa saja bagi KNPB referendum merupakan pilihan terbaik dari yang baik (primus interpares), entah jalan pertempuran senjata, operasi militer, dan berbagai langkah revolusioner lainnya yang destruktif dan berdampak buruk bagi situasi kemanusiaan. Karena kekerasan hanya menghancurkan berbagai sendi kehidupan, termasuk meninggalkan reruntuhan puing-puing kemanusiaan belaka.
Perihal referendum
Referendum sebagai jalan akhir tanpa mengabaikan hak dari salah satu pihak pun, baik yang pro-Papua merdeka maupun pro-integrasi (Indonesia). Semua diberi ruang dan kesempatan yang setara untuk menentukan pilihannya masing-masing tanpa ada unsur paksaan, tekenan, dan praktik transaksional yang merusak kedaulatan rakyat Papua yang menyalurkan hak politiknya secara demokratis untuk memutuskan mana pilihan terbaik bagi masa depan hidupnya di salah satu negara: Papua atau Indonesia.
Referendum yang demokratis adalah yang dapat digelar berdasarkan prinsip dan standar hukum internasional serta hukum positif yang berlaku secara umum dan dapat diketahui sekaligus disepakati para pihak yang berkonflik. Bukan sebaliknya, penyelenggaraan referendum yang dilakukan atas dasar sebuah perjanjian sepihak, penuh rekayasa, penyelundupan hukum, manipulasi, tekanan, dan paksaan.
Hal tersebut sebagaimana pengalaman pahit di masa lalu yaitu Perjanjian New York yang dimediasi Amerika dan dirumuskan serta diteken secara sepihak oleh Indonesia dan Belanda atas sponsor PBB tanpa sepengetahuan orang Papua. Maka, yang penting dari sebuah referendum demokratis adalah menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala kepentingan dan egoisme sektoral para pihak, baik kelompok nasionalis Papua maupun Indonesia.
Di sana, para pihak tidak diperkenankan menekan atau melakukan intrik apa pun untuk memaksa, juga mengekang kebebasan setiap orang Papua, baik yang pro-Papua maupun Indonesia dalam menentukan pilihan berdasarkan hati nuraninya. Dengan cara itu, kedaulatan rakyat benar-benar dihargai dalam proses politik yang demokratis, tanpa diinterupsi oleh bayang-bayang kekuasaan atau kepentingan apa pun.
Oleh karena itu, perjuangan KNPB dalam mengekspresikan pandangan dan kehendak politiknya secara bebas, tidak perlu dikhawatirkan dan dipolemikkan. Mengapa? Itu cara yang paling objektif, rasional, demokratis, damai, dan humanis. Perjuangan KNPB ini juga merupakan bagian dari perspektif HAM generasi ketiga yaitu HAM yang bersifat solidaritas karena melampaui kerangka individu dan fokus pada konsep hak kolektif komunitas perihal hak politik rakyat Papua.
Perjuangan yang berfokus pada sebuah ruang untuk rakyat Papua bebas berekspresi melalui proses referendum yang adil, jujur, terbuka, damai, dan bermartabat. Karena itu, tokoh revolusi Kuba asal Argentina Ernesto ‘Che’ Guevara, mengatakan, perjuangan untuk merebut kebebasan itu berbahaya tetapi kebebasan itu berharga.
Kebebasan itu lebih berharga dari hidup itu sendiri. Tanpa kebebasan, hidup tidak berarti apa-apa dan dengan kebebasan segala sumber kehidupan menjadi bermakna sekaligus memberi jaminan hidup yang berkelanjutan. Hal ini sebagaimana ungkapan bahasa Latin, libertas perfundet omnia luce, kebebasan akan membanjiri segala sesuatu dengan cahaya.
Bahkan kebebasan setiap orang telah diproteksi oleh prinsip hukum yang sangat umum yaitu cogitationis Phoenam nemo partitur (tidak ada seorang pun dapat dihukum atas apa yang dipikirkannya).
Selanjutnya, KNPB tentu berusaha menggagas atau menciptakan sebuah sarana demokrasi yang efektif untuk para pihak yang berkonflik, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) versus Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI-Polri) yang selama ini show force mengandalkan cara-cara kekerasan, perang, dan pertumpahan darah.
KNPB memposisikan diri sebagai media perjuangan rakyat Papua secara damai, yang aktif menggelorakan referendum sebagai isu utama. Referendum tidak memberi jaminan yang pasti bagi siapa yang menang dan siapa yang kalah, kecuali usai jajak pendapat digelar dan hasilnya disetujui oleh para pihak: Papua dan Jakarta.
Referendum bukan tujuan namun sebuah cara untuk mengakhiri konflik dengan memberikan kebebasan penuh kepada kedua pihak yang bertikai untuk menentukan pilihannya secara bebas, dengan menjunjung etika demokrasi yang mensyaratkan bahwa pemenang adalah yang meraih suara terbanyak dan kalah adalah yang memperoleh suara sedikit.
Jika dilihat, referendum merupakan sebuah proses politik yang tentu memiliki standar ganda, bukan standar tunggal, hingga belum tentu yang menang adalah kelompok pro-Papua merdeka dan kalah adalah pihak yang pro-Indonesia, atau sebaliknya. Karena rakyat adalah massa tanpa nama, yang sulit diprediksi hati dan jalan pikirannya dalam menentukan pilihan dalam plebisit nanti.
Apalagi saat ini kita saksikan aneka ikhtiar pembangunan yang terus digenjot oleh pemerintah pusat dalam akselerasi pembangunan di tanah Papua melalui kebijakan otonomi khusus, pemekaran lima provinsi baru, menggelontorkan anggaran APBN yang begitu masif untuk mendorong berbagai pembangunan.
Misalnya, pembangunan infrastruktur pelabuhan laut, bandar udara, jalan, dan jembatan di mana-mana. Presiden terus bolak-balik (wara-wiri) Papua-Jakarta meski semuanya belum mengobati secara holistik kerinduan dan penderitaan rakyat Papua, termasuk pelanggaran HAM tetapi setidaknya sudah cukup meyakinkan dan membuat sebagian rakyat Papua percaya dan menghormati upaya dan niat baik pemerintah Indonesia itu. (bagian pertama)
Belum ada Komentar
Posting Komentar